Senin, 23 September 2013

Komunitas Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Salah satu Prosesi Adat di masjid kuno Bayan
Lombok Utara - Komunitas masyarakat adat oleh kebanyakan orang dipahami sebatas hak kebudayaan, tradisi atau adat-istiadat. Meski cara pandang itu tidak sepenuhnya salah, namun cara pandang itu cenderung distorsif. Padahal berbicara tentang masyarakat adat terkait dengan hak kebudayaan dan hak pengelolaan atas Sumber Daya Alam (SDA), terutama tanah, termasuk pemerintahan lembaga adat. Ada lebih ekstrim, masyarakat adat dianggap tidak ada lagi.

Keberadaan dan hak komunitas adat diakui dalam berbagai produk perundang-undangan. Dalam konstitusi UUD 1945 menegaskan tentang hak komunitas masyarakat adat itu. Dalam standar yuridis, ada tidaknya suatu masyarakat adat dilihat dari 4 hal, yaitu kelembagaan adat, persekutuan masyarakat adat, pranata adat dan hak ulayat yang diklelola lembaga adat. Bagaimana keberadaan komunitas masyarakat adat di Lombok saat ini ?

Lebe Bayan, Antassalam mencatat, bahwa Bayan dan sekitarnya pernah memiliki 44 jabatan lembaga adat. Kini Lembaga adat masih dijumpai di berbagai desa di Kabupaten Lombok Utara. Umumnya setiap lembaga adat terdapat salah satu atau ketiganya dari unsur jabatan adat yaitu Pembekel, Pengulu dan Pemangku. Seiring dengan masuknya agama Islam, jabatan adat diisi dengan jabatan yang mengurusi kegiatan keagmaan seperti Lebe, Ketip, Modin, Pengulu, Kiyai dan Santri.

Di Bayan misalnya sebagai salah satu sentral pemerintahan lembaga adat di Lombok saat ini memiliki jabatan lembaga adat Wali Gumi, Pembekel, Lokak Penguban, Lokak Gantungan Rombong, Perumbak Lokak Bual, Lokak Nangka Rempek, dan Lokak Ijuk. Sementara lembaga-lembaga adat di desa lainnya umumnya terdapat jabatan adat Pemangku, dari Desa Sambik Elen sempai Kecamatan Pemenang-Lombok Utara.

Sebagai wujud dari eksistansi masarakat adat adalah adanya persekutuan masyarakat adat. Meski pembauran telah berlangsung antara masyarakat adat di Lombok Utara, namun persekutuan masarakat adat masih terlihat kental di beberapa desa. Mereka hidup baik dalam satuan Kelompok kampung atau desa. Anggota masarakat adat masih memenuhi peranata-peranata adat atau awiq-awiq. Mereka juga terlibat dalam berbagai upacara adat dan keagamaan yang menjadi gewe masarakat adat. Misalnya upacara muja tahun (nunas kaya) dan muja balit (ulik atau uturang kaya) atau upacara Maulid.

Seiring dengan peroses percepatan sosial, integrasi sosial dan tata pemerintahan, wilayah pemerintahan lembaga adat megalami lokalisasi. Namun demikian, batas-batas wilayah pemerintahan lembaga adat bukan berarti lenyap. Mereka masih megklaim batas-batas wilayah pemerintahan lembaga adat. Umumnya batas-batas wilayah pemerintahan lembaga adat ditandai dengan batas kampung, sungai atau hutan.

Meski batas wilayah pemerintahan lembaga adat hanya sebatas dusun atau desa, namun anggota persekutuan masyarakat adatnya juga lintas dusun atau desa. Misalnya kegiatan upacara adat dan keagamaan di lembaga adat Bayan, seperti Loloan, Sambik Elen, Senaru, Sukadana dan lain-lain.

Bukti penting keberadaan komunitas masyarakat adat di Lombok Utara adalah adanya tanah ulayat dan hutan adat. Di berbagai desa masih dijumpai tanah ulayat atau disebut sebagai tanah pauman gubuk dan gontor paer. Secara umum, ada dua model pengelolaan tanah pauman gubuk dan gontor paer. Pertama, anggota masyarakat dapat menggarap tanah dengan memberikan sebagian hasil (gunja) yang digunakan sebagai sumbangan kepada pejabat lembaga adat dan untuk kebutuhan upacara adat. Kedua, tanah dikelola langsung oleh pejabat lembaga adat sebagai pecatu adat untuk digunakan kebutuhan upacara adat.

Wujud lain dari tanah ulayat adalah adanya hutan adat atau masyarakat menyebut pawang adat. Di Lombok Utara saja terdapat puluhan hutan adat yang kondisinya terjaga, seperti pawang Mandala, dan pawang Bangket Bayan di Desa Bayan, Pawang Buani dan Barumurmas desa Bentek. Menurut hasil inventarisasi dan pemetaan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan (YPMP) hutan adat di sekitar Kecamatan Bayan terdapat 19 hutan adat yang luasnya bervariasi dari 2 ha sampai 80 ha yang tersebar di 6 desa dengan luas keseluruhan 200 ha lebih.

Kondisi hutan adat itu tidak terlepas dari peran lembaga adat dan awiq-awiq pengelolaan hutan adat. Masyarakat di larang melakukan penebangan kayu di hutan adat, bahkan untuk kayu yang sudah tumbang. Mereka juga menerapkan sanksi bagi pelanggar awiq-awiq. Awiq-awiq serupa ternyata juga dijumpai di seluruh pawang adat yang ada di Lombok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar